Minggu, 09 Oktober 2022

MAULID NABI ﷺ


 Oleh : Muhammad Atim

 

Maulid adalah isim zaman dari kata walada-yalidu artinya waktu lahir. Tentang waktu lahir Nabi Muhammad saw, para ulama berbeda pendapat. Pendapat masyhur dari jumhur ulama adalah pada bulan Rabi'ul Awwal. Tentang tanggalnya mereka juga berbeda pendapat. Namun semuanya sepakat tentang harinya yaitu hari senin karena berdasarkan hadits yang shahih (Shahih Muslim no.1162). Ada yang mengatakan tanggal 2, 8, 10, 12, 17 dan 18 (lihat Sirah Nabawiyyah Ibnu Katsir, 1/199). Ada tambahan pendapat lain dari para ulama kontemporer berdasarkan perhitungan ilmu falak, yaitu mereka menetapkan tanggal 9, sebagaimana ditegaskan oleh Al-Mubarok Furi dalam kitabnya Ar-Rahiqul Makhtum. Menurut Ibnu Katsir, pendapat yang paling masyhur dipegang oleh jumhur ulama adalah tanggal 12.

Setiap muslim tentu harus merasa senang dengan kehadiran Rasulullah yang diutus oleh Allah untuk manusia, karena beliau merupakan nikmat terbesar yang Allah berikan. Allah menjadikannya sebagai teladan sempurna bagi manusia sepanjang zaman dan rahmat bagi seluruh alam. Allah berfirman :

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayatNya, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Al-Hikmah (Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Ali Imran : 164).

Beriman kepada beliau sebagai utusan Allah, secara otomatis, setelah cinta kepada Allah, menuntut untuk mencintai beliau, bahkan melebihi apapun termasuk diri sendiri.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنَ هِشَامٍ قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ آخِذٌ بِيَدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِلَّا مِنْ نَفْسِي فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم : لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ : فَإِنَّهُ الْآنَ وَاللَّهِ لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم : الْآنَ يَا عُمَرُ

Dari Abdullah bin Hisyam, ia menuturkan; kami pernah bersama Nabi yang saat itu beliau menggandeng tangan Umar bin Khattab, kemudian Umar berujar, "Ya Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala-galanya selain diriku sendiri." Nabi bersabda, "Tidak, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, hingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri." Maka Umar berujar, 'Sekarang demi Allah, engkau lebih aku cintai daripada diriku.' Maka Nabi bersabda, "Sekarang (baru benar) wahai Umar." (HR. Bukhari, no. 6632).

Rasa cinta kepada beliau itulah yang mendorong untuk mempelajari dan bersungguh-sungguh mengamalkan ajaran yang beliau bawa (Al-Qur’an dan Sunnah), karena beliaulah satu-satunya jalan keselamatan, mempelajari sejarah hidup beliau dan berusaha meneladaninya, selalu mengingat-ingat dan menghayati jejak langkahnya, berjuang meneruskan perjuangannya, membela kehormatannya, rindu kepada beliau dan ingin bersama dengan beliau di surga kelak.

Itu adalah perkara pokok dalam iman kepada Rasulullah yang mesti dimiliki setiap muslim.

Adapun berkaitan dengan merayakan kelahiran Nabi Muhammad , ia merupakan perkara khilafiyyah (yang diperselisihkan) oleh para ulama.

Jadi, harus dibedakan terlebih dahulu mana perkara pokok, yaitu mencintai Nabi Muhammad , dan mana perkara furu/cabang yang diperselisihkan, yaitu merayakan kelahiran Nabi . Jangan dicampuradukkan, yaitu dengan mengatakan misalnya jika tidak merayakan maulid nabi berarti tidak mencintai nabi. Ini adalah kesimpulan yang keliru.

Dalam masalah khilafiyyah ini, terlebih dahulu kita harus memahami hal yang disepakati, yaitu bahwa merayakan maulid Nabi ini adalah perkara yang bid’ah. Artinya, ia adalah perkara baru yang belum pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad , para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Ini disepakati oleh seluruh ulama. Yang menjadi perselisihan kemudian adalah apakah bid’ah tersebut adalah bid’ah sayyiah (buruk) ataukah dapat dikategorikan sebagai bid’ah hasanah (baik). Di samping perbedaan dalam memahami hakikat bid’ah itu sendiri, yaitu antara yang memahami semua bid’ah itu buruk/sesat, sedangkan yang tidak buruk tidak disebut bid’ah. Dan yang membagi bid’ah kepada yang buruk dan yang baik, atau bahkan membagi sesuai hukum taklifi yang lima, yaitu ada yang haram, makruh, mubah, sunnah dan wajib.

Yang menganggapnya sebagai bid’ah hasanah menganggap bahwa ia merupakan bentuk ekspresi cinta kepada Nabi yang ditampilkan dalam bentuk bersyukur dengan mengadakan acara perayaan maulid, yaitu dengan berkumpul membaca shalawat, membaca qasidah-qasidah tentang kisah Nabi , pengajian, makan-makan, dsb, yang bisa jadi dilakukan dengan format acara yang berbeda-beda. Selain itu, juga untuk mengingatkan masyarakat luas yang sudah banyak lupa kepada kehidupan Rasulullah .

Dan yang menganggap sebagai bid’ah sayyiah karena menilainya sebagai sebuah ritual ibadah khusus yang diada-adakan, sedangkan ritual ibadah khusus itu mesti ada landasannya langsung dari Nabi .

Kedua-dua pendapat tersebut adalah hasil ijtihad para ulama yang tidak dapat disepelekan. Harus dihormati. Setiap orang berhak untuk mengambil pilihan, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas pilihannya.

Tapi, ada hal yang harus diperhatikan, bahwa para ulama yang membolehkannya, tidaklah membolehkan secara mutlak, tetapi ada syarat-syaratnya yang harus dipenuhi. Yaitu jangan ada perkara-perkara haram dan melanggar syariat dalam perayaannya, tidak menjadikannya sebagai ritual peribadatan khusus tetapi sebatas perkara duniawi sebagai ekspresi rasa cinta dan rasa syukur, tidak meyakini kewajiban atau kesunnahannya karena harus ada nash khusus yang menunjukkan kepadanya, dan tidak menjadikannya sebagai hari raya (‘ied) karena hanya ada dua hari raya dalam Islam yaitu ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adha, tetapi sebagai perayaan biasa. Dengan memperhatikan syarat-syarat ini, bagi orang yang melakukannya menjadi bahan introspeksi, apakah sudah dapat berkomitmen dengan syarat-syarat ini?

Adapun bagi saya, saya memilih untuk tidak merayakannya. Yaitu berpegang kepada prinsip sadd adz-dzari’ah (mencegah timbulnya perbuatan haram). Karena faktanya, sangat sulit merealisasikan syarat-syarat di atas. Tidak sedikit orang yang terjebak meyakini bahwa perayaan maulid Nabi merupakan ritual peribadatan khusus yang dilakukan secara rutin setiap tahun pada waktu tertentu, dianggap sebagai syariat yang tidak ada bedanya dengan ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adha, tidak sedikit yang menganggapnya sebagai sunnah, bahkan wajib dengan memaksakan diri untuk mengadakannya, bahkan mencela dan membenci orang yang tidak merayakannya. Sehingga menjadi keyakinan dan tradisi yang mendarah daging dalam masyarakat awam, tanpa berusaha sungguh-sungguh untuk dipahamkan. Dalam acara perayaannya pun, tidak dipungkiri terdapat hal-hal yang menyimpang dan tidak masuk akal, misalnya meyakini datangnya ruh Nabi , bahkan sampai ada yang mengaku mengetahui keberadaannya, berdiri saat dibacakan kelahirannya sebagai penghormatan, memuji-muji Rasulullah secara berlebihan bahkan tanpa sadar masuk kepada wilayah ketuhanan, yang tentu hal itu tidak memiliki dasar yang jelas dan bisa berakibat menjerumuskan kepada syirik dan kekufuran. Membacakan kisah-kisah Nabi seperti barzanji dengan bahasa Arab yang tidak dimengerti kepada masyarakat awam, tentu hal itu menjadi jauh dari tujuannya, yaitu mengingatkan tentang kehidupan Rasulullah . Belum lagi ditambah dengan keharaman lain seperti dangdutan dengan penyanyi biduan yang berjoged-joged, bercampur baur antara laki-laki dan perempuan (ikhtilat), dsb. Jika hal-hal seperti itu yang dilakukan dalam perayaan maulid, maka jelaslah tergolong kepada bid’ah sayyiah.

Belum lagi, jika melihat efektifitasnya, bahwa tujuan perayaan maulid itu agar orang-orang mengingat kehidupan Rasulullah , menumbuhkan rasa cinta kepadanya dan meneladaninya, pada kenyataannya tidak benar-benar efektif. Padahal, jika perayaan maulid ini dianggap sebagai wasail (perantara) untuk mencapai maqashid (tujuan), maka hukum wasail itu mengikuti hukum maqashid, tapi kalau wasail ini telah melenceng jauh dari maqashidnya, maka tentu saja wasail tersebut tidak lagi diperlukan. Tidak sedikit orang yang terjebak hanya mengikuti alur seremonial belaka, menyanyikan lagu-lagu yang tidak begitu dipahami, tidak menyentuh kepada esensi dan komitmen untuk meneladani Rasulullah dalam keseharian. Bahkan mirisnya, acara dilakukan hingga larut malam, saat shalat shubuh tiba, orang-orang pun menghilang, tidak kelihatan melaksanakan shalat.

Untuk menanamkan kecintaan yang kuat, menghayati dan meneladani kehidupan Rasulullah dalam keseharian, tidak dapat dicapai hanya dengan acara seremonial tahunan, tapi mesti dengan usaha serius untuk mengajarkan sirohnya secara rutin, menanamkan dan mengaplikasikan sunnah-sunnah dan ajarannya, menjadikannya sebagai kurikulum dan panduan pendidikan yang diajarkan di sekolah-sekolah yang diikuti oleh pelajar-pelajar muslim, juga kajian-kajian intensif bagi seluruh lapisan masyarakat, dan berbagai usaha lainnya untuk mewujudkan keteladanan Rasulullah dalam kehidupan nyata.  

Ini hanya pertimbangan saya saja, anda boleh tidak setuju. Silahkan pertimbangkan pilihan anda sendiri. Tidak perlu terus menerus menjadi ajang perpecahan.

Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar