Selasa, 26 Mei 2020

Shaum 6 Hari Bulan Syawal



Oleh : Muhammad Atim
Inilah keistimewaan umat Nabi Muhammad dibanding umat sebelumnya. Meskipun usianya lebih pendek tetapi dapat mengungguli umat lain. Rahasianya adalah diberikan pelipatgandaan pahala.
Seperti syariat yang satu ini; shaum 6 hari di bulan Syawal. Siapa yang shaum Ramadhan lalu diikuti dengan shaum 6 hari di bulan Syawal, maka ia seperti shaum satu tahun penuh.
عَنْ عُمَرَ بْنِ ثَابِتٍ بْنِ الْحَارِثِ الخَزْرَجِي عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ حَدَّثَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ : « مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ »
Dari Umar bin Tsabit bin Al-Harits Al-Khazraji, dari Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu bahwanya ia (Abu Ayyub) menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah bersabda : “Siapa yang shaum Ramadhan kemudian ia mengikutinya (menyambungnya) (dengan shaum) enam hari dari bulan Syawal, ia seperti shaum satu tahun.” (HR. Muslim, no. 1164).
Mengapa dianggap sebagai shaum satu tahun penuh? Karena bagi umat Nabi Muhammad , satu amal ibadah dibalas dengan 10 pahala kebaikan. Hitungannya, shaum Ramadhan selama satu bulan itu dilipatkan sepuluh kali lipat menjadi 300 hari atau sepuluh bulan. Berdasarkan zahir hadits ini, tidak berbeda apakah jumlah Ramadhan itu 30 atau 29 hari, karena ini hanya hitungan matematis manusia. Lalu ditambah dengan 6 hari, artinya menjadi 60 hari atau dua bulan. Maka genaplah menjadi 12 bulan atau satu tahun penuh. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Nabi sendiri dari riwayat Tsauban radhiyallahu ‘anhu,
عَنْ ثَوْبَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ قَالَ : « صِيَامُ شَهْرِ رَمَضَانَ بِعَشْرَةِ أَشْهُرٍ وَصِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ بِشَهْرَيْنِ فَذٰلِكَ صِيَامُ السَّنَةِ »
Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah bersabda : “Shaum bulan Ramadhan itu sama dengan sepuluh bulan dan shaum 6 hari itu sama dengan dua bulan, maka itulah shaum satu tahun.” (HR. Nasai dalam As-Sunan Al-Kubro, no. 2873).
عَنْ ثَوْبَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مَوْلَى رَسُوْلِ اللهِ ﷺ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُوْلُ : « جَعَلَ اللهُ الْحَسَنَةَ بِعَشْرٍ، فَشَهْرٌ بِعَشْرَةِ أَشْهُرٍ، وَسِتَّةُ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ تَمَامُ السَّنَةِ »
Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu maula (budak yang dibebaskan oleh) Rasulullah bahwanya ia mendengar Rasulullah bersabda : “Allah menjadikan satu kebaikan itu sama dengan sepuluh. Maka, satu bulan sama dengan sepuluh bulan, dan enam hari setelah idul fitri adalah untuk menyempurkan menjadi satu tahun.” (HR. Nasai dalam As-Sunan Al-Kubro, no. 2874).
Berdasarkan hadits shahih di atas, jelaslah hukum shaum 6 hari di bulan Syawal adalah sunnah. Adapun yang memakruhkannya yaitu imam Malik dan imam Abu Hanifah, hal itu merupakan ijtihad keduanya karena khawatir dianggap wajib. Namun karena haditsnya shahih, maka kuatlah hujjah akan kesunnahannya. Shaum ini bisa dilakukan secara berturut-turut ataupun secara terpisah, karena keduanya tercakup dalam makna atba’ahu (mengikutinya/menyammbungnya). Hanya jika berturut-turut dan diawalkan tentu lebih baik, karena amal shaleh itu lebih baik jika disegerakan. Karena kalau  ditunda-tunda akan mengakibatkan munculnya rasa malas ataupun terhalang oleh sebab-sebab lain. Wallahu A’lam.
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan :
فيه دلالة صريحة لمذهب الشافعي وأحمد وداود وموافقيهم في استحباب صوم هذه الستة، وقال مالك وأبو حنيفة : يكره ذلك، قال مالك في الموطأ : ما رأيت أحدا من أهل العلم يصومها، قالوا : فيكره، لئلا يظن وجوبه. ودليل الشافعي وموافقيه هذا الحديث الصحيح الصريح، وإذا ثبتت السنة لا تترك لترك بعض الناس أو أكثرهم أو كلهم لها، وقولهم : قد يظن وجوبها، ينتقض بصوم عرفة وعاشوراء وغيرهما من الصوم المندوب. قال أصحابنا : والأفضل أن تصام الستة متوالية عقب يوم الفطر، فإن فرقها أو أخرها عن أوائل شوال إلى أواخره حصلت فضيلة المتابعة؛ لأنه يصدق أنه أتبعه ستا من شوال.
“Di dalam hadits tersebut terdapat petunjuk yang sharih (jelas) bagi madzhab Syafi’i, Ahmad dan Dawud (Azh-Zhahiri), dan orang-orang yang sepakat dengan mereka dalam kesunnahan shaum enam hari ini. Sedangkan Malik dan Abu Hanifah berkata : “Hal itu dimakruhkan”. Malik berkata di dalam Al-Muwatha : “Aku tidak melihat seorang pun dari ahli ilmu yang shaum padanya. Mereka berkata : “Maka dimakruhkan, agar tidak disangka sebagai kewajiban”. Dalil Asy-Syafi’i dan yang sepakat dengannya adalah hadits yang shahih dan sharih ini. Apabila sunnah telah tetap, tidak boleh ditinggalkan disebabkan sebagian orang atau kebanyakan atau seluruhnya meninggalkannya. Perkataan mereka “bisa jadi disangka sebagai kewajiban”, terbantahkan dengan shaum Arofah, Asyura dan yang lainnya dari shaum yang mandub. Para sahabat kami berkata : “Yang lebih utama agar shaum enam hari ini dilakukan secara berturut-turut setelah hari ‘Id. Namun apabila melakukannya secara terpisah atau mengakhirkannya dari awal-awal Syawal ke akhir-akhirnya, tercapai pula keutamaan mengikutinya. Karena benarlah bahwa ia mengikutinya dengan shaum enam hari dari bulan Syawal.” (Syarah Shahih Muslim, jilid 8, hal.80-81).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar