Sabtu, 06 Januari 2018

Hukum Masbuk Berjama’ah



Bagaimanakah hukumnya orang yang masbuk (ketinggalan) shalat berjama’ah lalu menyempurnakannya secara berjama’ah dan adakah dalilnya?

Dalam memburu shalat berjama’ah di awal waktu, karena suatu keafdhalan atau sunnah yang ditekankan (mu’akkadah) yang ada padanya, kadangkala ada saja yang menghalangi seseorang untuk dapat mengikuti imam dari awal, sehingga membuatnya tertinggal atau disebut dengan masbuk. Dalam hal ini Rasulullah saw memberikan tuntunan agar jangan tergesa-gesa dalam memburu shalat jama’ah, tetapi hendaklah tenang dan berwibawa dalam berjalan, sehingga andaipun ada yang tertinggal, beliau memberi keringanan agar mengikuti yang dapat terikuti dan menyempurnakan yang tertinggal. Namun perlu diperhatikan juga, bahwa hal ini tidak berarti terlalu santai sehingga tertinggal sama sekali.

Dalam shahih Bukhari pada kitab Al-Adzan ada bab “Janganlah tergesa-gesa menuju shalat namun hendaklah berjalan dengan tenang dan perlahan”, di sana disebutkan hadits,  

حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ قَالَ حَدَّثَنَا الزُّهْرِيُّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ الْإِقَامَةَ فَامْشُوا إِلَى الصَّلَاةِ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ وَالْوَقَارِ وَلَا تُسْرِعُوا فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا

Telah menceritakan kepada kami Adam berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dzi'b berkata, telah menceritakan kepada kami dari Az Zuhri dari Sa'id bin Al Musayyab dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dan dari Az Zuhri dari Abu Salamah dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika kalian mendengar iqamat dikumandangkan, maka berjalanlah menuju shalat dan hendaklah kalian berjalan dengan tenang berwibawa dan jangan tergesa-gesa. Apa yang kalian dapatkan dari shalat maka ikutilah, dan apa yang kalian tertinggal maka sempurnakanlah." (HR. Bukhari No.600).

Namun kemudian muncul permasalahan, bagaimanakah orang yang masbuk tersebut menyempurnakan kekurangan shalatnya, apakah sendiri-sendiri ataukah berjama’ah?

Dalam prmbahasan fiqih generasi awal dan juga ulama-ulama mujtahid berikutnya tidak didapati pembahasan hukumnya secara tegas, bisa jadi karena memang sudah jelas dikembalikan kepada hukum shalat itu sendiri secara umum, bahwa ia bisa dilakukan secara sendiri-sendiri ataupun berjama’ah dan tentu berjama’ah lebih afdhal. Atau bisa juga dimungkinkan karena perbuatan masbuk tersebut jarang terjadi karena mereka sangat disiplin dalam menjaga shalat berjama’ah. Namun yang jelas, dalam setiap permasalahan itu tentu ada hukumnya, apalagi dalam hal ibadah semacam ini.

Dalam hadits di atas, tidak diberikan ketentuan secara tegas, apakah yang masbuk itu menyempurnakan kekurangan shalatnya secara sendiri-sendiri ataukah berjama’ah? Namun sebenarnya jelas, permasalahan ini dapat dikembalikan kepada dalil umum yang menyebutkan bahwa shalat berjama’ah itu lebih utama dibanding shalat sendirian, dalam hadits tersebut berlaku umum untuk shalat wajib mencakup yang tidak masbuk dan juga yang masbuk. Di antara hadits-hadits keutamaan berjama’ah,

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: إِذَا كُنْتُمْ ثَلَاثَةً فَصَلُّوْا جَمِيْعًا فَلْيَؤُمَّكُمْ أَحَدُكُمْ رواه أحمد ومسلم والنسائي

Dari Abdullah bin Masud, ia berkata, “Apabila kalian bertiga, salatlah secara berjama’ah, hendaklah  salah seorang di antara kalian jadi imam.” (HR. Ahmad, Muslim, An-Nasai)

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قال:قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً. متفق عليه 
.
Dari Ibnu Umar, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Salat berjama’ah itu mengungguli salat dengan 27  derajat’.” (Muttafaq Alaih)

عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ:قال رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَإِنَّ صَلَاةَ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ وَحْدَهُ وَصَلَاتُهُ مَعَ الرَّجُلَيْنِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ مَعَ الرَّجُلِ وَمَا كَثُرَ فَهُوَ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى.رواه أحمدوأبوداود والنسائي وابن ماجه

Dari Ubay bin Ka’ab, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, Salat seseorang dengan seseorang lainnya lebih beruntung (lebih bersih) dari salat sendirian (munfarid). Dan salatnya dengan dua orang lainnya lebih beruntung daripada salatnya berasama seorang lainnya. Dan lebih banyak  (jumlahnya) maka lebih dicintai oleh Allah ta’ala.” (HR. Ahmad, Abu Daud, An-Nasai dan Ibnu Majah).

Oleh karena itu, orang yang masbuk dalam menyempurnakan kekurangan shalatnya lebih baik melakukannya secara berjama’ah berdasarkan keumuman hadits-hadits di atas. Ini dalil yang pertama.

Kedua, ada orang yang berpendapat bahwa orang yang masbuk tidak boleh menyempurnakan shalatnya secara berjama’ah karena akan terjadi perpindahan niat dan keadaan, yaitu yang tadinya ma’mum berubah menjadi imam. Hal ini sebenarnya tidak asing, ulama terdahulu pun sudah membahasnya, yaitu yang dinamakan istikhlaf (mengangkat imam baru). Yaitu pernah dialami oleh Rasulullah saw saat beliau sedang sakit, beliau menyuruh Abu Bakar As-Shiddiq ra menjadi imam, namun kemudian beliau bermakmum kepada Abu Bakar, dan Abu Bakar enggan mengimami Rasul, maka Rasul pun berganti posisi menjadi imam. Sebagaimana diterangkan oleh Aisyah ra,

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ لَمَّا مَرِضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَضَهُ الَّذِي مَاتَ فِيهِ وَقَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ لَمَّا ثَقُلَ جَاءَ بِلَالٌ يُؤْذِنُهُ بِالصَّلَاةِ فَقَالَ مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا بَكْرٍ رَجُلٌ أَسِيفٌ تَعْنِي رَقِيقٌ وَمَتَى مَا يَقُومُ مَقَامَكَ يَبْكِي فَلَا يَسْتَطِيعُ فَلَوْ أَمَرْتَ عُمَرَ فَصَلَّى بِالنَّاسِ فَقَالَ مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ فَإِنَّكُنَّ صَوَاحِبَاتُ يُوسُفَ قَالَتْ فَأَرْسَلْنَا إِلَى أَبِي بَكْرٍ فَصَلَّى بِالنَّاسِ فَوَجَدَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ نَفْسِهِ خِفَّةً فَخَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ يُهَادَى بَيْنَ رَجُلَيْنِ وَرِجْلَاهُ تَخُطَّانِ فِي الْأَرْضِ فَلَمَّا أَحَسَّ بِهِ أَبُو بَكْرٍ ذَهَبَ لِيَتَأَخَّرَ فَأَوْمَى إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ مَكَانَكَ قَالَ فَجَاءَ حَتَّى أَجْلَسَاهُ إِلَى جَنْبِ أَبِي بَكْرٍ فَكَانَ أَبُو بَكْرٍ يَأْتَمُّ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسُ يَأْتَمُّونَ بِأَبِي بَكْرٍ

Dari Aisyah, ia berkata, “Ketika Rasulullah saw. sakit pada sakit yang membuat beliau wafat—Abu  Muawiyah mengatakan ketika sakitnya semakin parah—datang Bilal mengumandangkan adzan shalat, lalu beliau bersabda, “Perintahkan Abu Bakar untuk mengimami shalat orang-orang.” Kami berkata, “Wahai Rasulullah saw. sesungguhnya Abu Bakar seorang yang mudah sedih dan menangis, maksudnya lembut hatinya, seandainya dia menempati tempatmu, maka ia akan menangis dan tidak mampu (untuk shalat). Perintahkanlah Umar untuk shalat menjadi imam bersama orang-orang.” Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Perintahkan Abu Bakar menjadi imam shalat dengan orang-orang, sesungguhnya kalian semua seperti perempuan pada zaman Yusuf” Aisyah berkata, “Maka kami mengirim utusan kepada Abu Bakar, lalu dia shalat dengan orang-orang.” Rasulullah saw. merasakan pada dirinya keringanan (agak membaik kesehatannya), lalu beliau keluar shalat dengan dituntun (dipandu) oleh dua orang, dan kedua kaki beliau terseret di tanah. Ketika Abu Bakar merasa (kehadiran Rasulullah) maka ia berusaha untuk mundur, lalu Rasulullah memberi isyarat kepadanya untuk tetap di tempatnya.” Perawi berkata, “Kemudian Nabi saw. datang dan beliau didudukan di samping Abu Bakar, maka Abu Bakar mengikuti Rasulullah dan orang-orang mengikuti Abu Bakar.” (HR. Ibnu Majah).

Ditambah dengan hadits adanya shadaqah shalat, yaitu orang yang tadinya ma’mum lalu menjadi imam bagi orang yang ketinggalan shalat berjama’ah sebagai shadaqah baginya. 

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَجُلًا دَخَلَ الْمَسْجِدَ وَقَدْ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  بِأَصْحَابِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّيَ مَعَهُ فَقَامَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ فَصَلَّى مَعَهُ – رواه أحمد وأبو داود والترمذي 
 –
Dari Abu Said ia berkata, sesungguhnya seorang laki-laki masuk ke masjid sedangkan Rasulullah saw. telah salat bersama para sahabat, kemudian Rasulullah saw. bersabda, ‘Siapa yang mau bershadaqah kepada orang ini, maka salatlah bersamanya?’ Kemudian seorang laki-laki dari satu kaum berdiri dan salat bersamanya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi).

Maka dengan sendirinya alasan tersebut dapat tertolak.

Ketiga, ternyata praktek masbuk ini juga pernah dialami langsung oleh Rasulullah saw bersama salah satu sahabatnya, yaitu Al-Mughiroh bin Syu’bah. Dari kejadian dalam hadits ini kita dapat mencermati apakah beliau melakukannya secara berjama’ah ataukah sendiri-sendiri. Berikut ini haditsnya, 

عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ تَخَلَّفَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم وَتَخَلَّفْتُ مَعَهُ فَلَمَّا قَضَى حَاجَتَهُ قَالَ أَمَعَكَ مَاءٌ فَأَتَيْتُهُ بِمِطْهَرَةٍ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ وَوَجْهَهُ ثُمَّ ذَهَبَ يَحْسِرُ عَنْ ذِرَاعَيْهِ فَضَاقَ كُمُّ الْجُبَّةِ فَأَخْرَجَ يَدَهُ مِنْ تَحْتِ الْجُبَّةِ وَأَلْقَى الْجُبَّةَ عَلَى مَنْكِبَيْهِ وَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ وَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى الْعِمَامَةِ وَعَلَى خُفَّيْهِ ثُمَّ رَكِبَ وَرَكِبْتُ فَانْتَهَيْنَا إِلَى الْقَوْمِ وَقَدْ قَامُوا فِي الصَّلاَةِ يُصَلِّي بِهِمْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَقَدْ رَكَعَ بِهِمْ رَكْعَةً فَلَمَّا أَحَسَّ بِالنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم ذَهَبَ يَتَأَخَّرُ فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ فَصَلَّى بِهِمْ فَلَمَّا سَلَّمَ قَامَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم وَقُمْتُ فَرَكَعْنَا الرَّكْعَةَ الَّتِي سَبَقَتْنَا رواه مسلم 
 –
Dari Al-Mughirah bin Syu’bah, ia berkata, “Rasulullah saw. ketinggalan rombongan demikian juga aku bersamanya. Ketika beliau telah menyelasaikan hajatnya, beliau bersabda, “Apakah kamu membawa air?” Maka aku mendatanginya dengan membawa air, lalu beliau mencuci kedua telapak tangannya dan wajahnya, lalu mulai membuka baju dari kedua lengannya, tetapi sempit jubahnya, maka beliau mengeluarkan sebelah tangannya dari bawah jubah, dan menempatkan jubahnya di atas kedua pundaknya, lalu beliau mencuci lengannya dan mengusap imamah serta kedua khufnya. Kemudian beliau menaiki kendaraannya dan aku pun berkendaraan bersamanya. Maka kami sampai kepada kaum (rombongan itu), ternyata mereka telah melaksanakan salat dan Abdurrahman bin Auf yang mengimami mereka, mereka telah salat satu rakaat. Tatkala Abdurrahman bin Auf merasa bahwa Nabi datang, ia berusaha untuk mundur, tetapi Nabi berisyarat agar Abdurrahman bin Auf tetap pada tempatnya mengimami mereka. Tatkala Abdurrahman bin Auf (bersama jama’ah) melakukan salam (selesai dari salatnya), Nabi saw. berdiri dan aku pun berdiri, lalu kami melaksanakan rakaat salat yang ketinggalan itu. (HR. Muslim, No. 274, Bab Mengusap ubun-ubun dan imamah).

Dalam riwayat Al-Baihaqi ada sedikit perbedaan redaksi dan ada tambahan penjelasan,

عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ تَخَلَّفَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم وَتَخَلَّفْتُ مَعَهُ فَلَمَّا قَضَى حَاجَتَهُ قَالَ أَمَعَكَ مَاءٌ فَأَتَيْتُهُ بِمِطْهَرَةٍ فَغَسَلَ وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ ثُمَّ ذَهَبَ يَحْسِرُ عَنْ ذِرَاعَيْهِ فَضَاقَ كُمُّ الْجُبَّةِ فَأَخْرَجَ يَدَهُ مِنْ الْجُبَّةِ وَأَلْقَى الْجُبَّةَ عَلَى مَنْكِبَيْهِ وَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ وَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى الْعِمَامَةِ وَعَلَى خُفَّيْهِ ثُمَّ رَكِبَ وَرَكِبْتُ فَانْتَهَيْنَا إِلَى الْقَوْمِ وَقَدْ قَامُوا فِي الصَّلاَةِ فَصَلَّى بِهِمْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَقَدْ رَكَعَ بِهِمْ رَكْعَةً فَلَمَّا أَحَسَّ بِالنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم ذَهَبَ يَتَأَخَّرُ فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ فَصَلَّى بِهِمْ فَلَمَّا سَلَّمَ قَامَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم وَقُمْتُ مَعَهُ فَرَكَعْنَا الرَّكْعَةَ الَّتِي سَبَقَنَا رواه البيهقي   –

Dari Al-Mughirah bin Syu’bah, ia berkata, “Rasulullah saw. ketinggalan rombongan demikian juga aku bersamanya. Ketika beliau telah menyelasaikan hajatnya, beliau bersabda, “Apakah kamu membawa air?” Maka aku mendatanginya dengan membawa air, lalu beliau mencuci wajahnya dan kedua telapak tangannya, lalu mulai membuka baju dari kedua lengannya, tetapi sempit jubahnya, maka beliau mengeluarkan sebelah tangannya dari bawah jubah, dan menempatkan jubahnya di atas kedua pundaknya, lalu beliau mencuci lengannya dan mengusap imamah serta kedua khufnya. Kemudian beliau menaiki kendaraannya dan aku pun berkendaraan bersamanya. Maka kami sampai kepada kaum (rombongan itu), ternyata mereka telah melaksanakan salat dan Abdurrahman bin Auf yang mengimami mereka, mereka telah salat satu rakaat. Tatkala Abdurrahman bin Auf merasa bahwa Nabi datang, ia berusaha untuk mundur, tetapi Nabi berisyarat agar Abdurrahman bin Auf tetap pada tempatnya mengimami mereka. Tatkala Abdurrahman bin Auf (bersama jama’ah) melakukan salam (selesai dari salatnya), Nabi saw. berdiri dan aku pun berdiri bersamanya, lalu kami melaksanakan rakaat salat yang ketinggalan itu. “ (HR. Baihaqi, As-Sunan Ash-Shugra, no. 92, Bab Bolehnya mengusap di atas Khuf).

Dari dua riwayat hadits di atas sebenarnya jelas menunjukkan bahwa Rasulullah saw yang saat itu ketinggalan shalat berjama’ah yang telah diimami oleh Abdurrahman bin ‘Auf dan telah berlalu satu rakaat, beliau bersama dengan Al-Mughirah bin Syu’bah menyempurnakan kekurangannya secara berjama’ah. Hal itu dapat ditunjukkan melalui beberapa kata berikut ini,

Pertama, penggunaan kata nahnu (kami) secara makna hakiki bermakna orang yang pertama dan orang yang ketiga (yang dibicarakan) melakukan sesuatu secara bersama-sama. Ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw dan Al-Mughirah melaksanakan shalat tersebut secara bersama-sama atau berjama’ah,

فَرَكَعْنَا الرَّكْعَةَ الَّتِي سَبَقَتْنَا

lalu kami melaksanakan rakaat salat yang ketinggalan itu.

Ini tidak ada bedanya dengan kalimat sebelumnya,
فَانْتَهَيْنَا إِلَى الْقَوْمِ

Maka kami sampai kepada kaum (rombongan itu)

Kalimat tersebut tentu menunjukkan bahwa Rasulullah saw dan Al-Mughirah sampai kepada rombongan secara bersama-sama, tidak sendiri-sendiri. 

Jika penggunaan kata nahnu dimaksudkan untuk melakukan sesuatu secara sendiri-sendiri mesti ada qarinah (keterangan pendukung) yang memalingkan dari makna aslinya. Misalnya dalam hadits berikut,

عَنْ حَسَنِ بْنِ عُقْبَةَ أبِي كِبْرَانَ ، أَنَّهُ قَالَ : كُنَّا مَعَ الضَّحَّاكِ فَقَالَ : إِنْ كَانَ مِنْكُمْ مَنْ يَتَقَدَّمُ فَلْيُؤَذِّنْ وَلْيُصَلِّ ، قَالَ : فَأَبَوْا ، فَصَلَّيْنَا وَحْدَانًا .

Dari Hasan bin Uqbah Abu Kibran, bahwa ia berkata, “Kami bersama adh-Dhahak, lalu ia berkata, ‘Jika di antara kalian ada yang bersedia maju menjadi imam, hendaklah azan dan shalatlah.’ Ia berkata, ‘Maka mereka enggan. Lalu kami shalat sendiri-sendiri’.” (HR. Ibnu Abu Syaibah, Mushannaf Ibnu Abu Syaibah, 1/358)

Kalimat shallainaa (kami shalat) pada riwayat ini harus dipahami bahwa mereka melaksanakan shalatnya tidak berjamaah karena terdapat qarinah (keterangan pendukung) yang menunjukkan hal itu yaitu kata wahdanan (sendiri-sendiri).

Kedua, adanya tambahan kata ma’ahu (bersamanya) dalam riwayat Baihaqi pada kalimat,

فَلَمَّا سَلَّمَ قَامَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم وَقُمْتُ مَعَهُ

Tatkala Abdurrahman bin Auf (bersama jama’ah) melakukan salam (selesai dari salatnya), Nabi saw. berdiri dan aku pun berdiri bersamanya

Kata tambahan tersebut menjadi penjelas bagi kalimat dalam riwayat muslim yang tidak menggunakannya. 

قَامَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم وَقُمْتُ

Nabi saw. berdiri dan aku pun berdiri

Maka jelaslah, berdirinya Rasulullah saw dan Al-Mughirah adalah dilakukan secara bersama-sama alias berjama’ah. Kejelasan itu nampak sebagaimana kalimat yang sama digunakan dalam hadits-hadits lain berikut ini,

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَامَ النَّاسُ مَعَهُ فَكَبَّرَ وَكَبَّرُوا مَعَهُ

Dari Ibnu Abas, ia berkata, “Nabi saw. berdiri dan orang-orang pun berdiri bersamanya, lalu beliau bertakbir dan mereka bertakbir bersamanya…” (HR. Al-Bukhari).

قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَلَاةٍ وَقُمْنَا مَعَهُ

“Rasulullah saw. berdiri pada satu salat dan kami berdiri bersamanya…” (HR. Al-Bukhari)

انْكَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَامَ وَقُمْنَا مَعَهُ

“Telah terjadi gerhana pada zaman Rasul, maka Beliau berdiri dan kami pun berdiri bersamanya.” (HR.Ibnu Hiban).

Adakah hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah saw dan para sahabat melaksanakan shalat secara sendiri-sendiri?

Oleh karena itu, jelaslah bahwa bagi orang yang masbuk menyempurnakan kekuarangan shalatnya secara berjama’ah adalah suatu keafdhalan dan merupakan sunnah yang ada contohnya dari Rasulullah saw.

Wallahu A’lam.

(Muhammad Atim)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar