Bagaimanakah hukumnya orang yang masbuk (ketinggalan)
shalat berjama’ah lalu menyempurnakannya secara berjama’ah dan adakah dalilnya?
Dalam memburu shalat berjama’ah di awal waktu, karena
suatu keafdhalan atau sunnah yang ditekankan (mu’akkadah) yang ada
padanya, kadangkala ada saja yang menghalangi seseorang untuk dapat mengikuti
imam dari awal, sehingga membuatnya tertinggal atau disebut dengan masbuk.
Dalam hal ini Rasulullah saw memberikan tuntunan agar jangan tergesa-gesa dalam
memburu shalat jama’ah, tetapi hendaklah tenang dan berwibawa dalam berjalan,
sehingga andaipun ada yang tertinggal, beliau memberi keringanan agar mengikuti
yang dapat terikuti dan menyempurnakan yang tertinggal. Namun perlu
diperhatikan juga, bahwa hal ini tidak berarti terlalu santai sehingga
tertinggal sama sekali.
Dalam shahih Bukhari pada kitab Al-Adzan ada bab “Janganlah
tergesa-gesa menuju shalat namun hendaklah berjalan dengan tenang dan
perlahan”, di sana disebutkan hadits,
حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ قَالَ حَدَّثَنَا الزُّهْرِيُّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ
الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَعَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
إِذَا سَمِعْتُمْ الْإِقَامَةَ فَامْشُوا إِلَى الصَّلَاةِ وَعَلَيْكُمْ
بِالسَّكِينَةِ وَالْوَقَارِ وَلَا تُسْرِعُوا فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا
فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا
Telah menceritakan kepada kami Adam berkata,
telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dzi'b berkata, telah menceritakan
kepada kami dari Az Zuhri dari Sa'id bin Al Musayyab dari Abu Hurairah dari
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dan dari Az Zuhri dari Abu Salamah dari Abu
Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika kalian
mendengar iqamat dikumandangkan, maka berjalanlah menuju shalat dan hendaklah
kalian berjalan dengan tenang berwibawa dan jangan tergesa-gesa. Apa yang
kalian dapatkan dari shalat maka ikutilah, dan apa yang kalian tertinggal maka
sempurnakanlah." (HR. Bukhari No.600).
Namun kemudian muncul permasalahan, bagaimanakah orang
yang masbuk tersebut menyempurnakan kekurangan shalatnya, apakah
sendiri-sendiri ataukah berjama’ah?
Dalam prmbahasan fiqih generasi awal dan juga ulama-ulama
mujtahid berikutnya tidak didapati pembahasan hukumnya secara tegas, bisa jadi
karena memang sudah jelas dikembalikan kepada hukum shalat itu sendiri secara
umum, bahwa ia bisa dilakukan secara sendiri-sendiri ataupun berjama’ah dan
tentu berjama’ah lebih afdhal. Atau bisa juga dimungkinkan karena perbuatan
masbuk tersebut jarang terjadi karena mereka sangat disiplin dalam menjaga
shalat berjama’ah. Namun yang jelas, dalam setiap permasalahan itu tentu ada
hukumnya, apalagi dalam hal ibadah semacam ini.
Dalam hadits di atas, tidak diberikan ketentuan secara
tegas, apakah yang masbuk itu menyempurnakan kekurangan shalatnya secara
sendiri-sendiri ataukah berjama’ah? Namun sebenarnya jelas, permasalahan ini dapat
dikembalikan kepada dalil umum yang menyebutkan bahwa shalat berjama’ah itu
lebih utama dibanding shalat sendirian, dalam hadits tersebut berlaku umum
untuk shalat wajib mencakup yang tidak masbuk dan juga yang masbuk. Di antara
hadits-hadits keutamaan berjama’ah,
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ
قَالَ: إِذَا كُنْتُمْ ثَلَاثَةً فَصَلُّوْا
جَمِيْعًا فَلْيَؤُمَّكُمْ أَحَدُكُمْ –
رواه أحمد ومسلم والنسائي
Dari
Abdullah bin Masud, ia berkata, “Apabila kalian bertiga, salatlah secara
berjama’ah, hendaklah salah seorang di antara kalian jadi imam.” (HR.
Ahmad, Muslim, An-Nasai)
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قال:قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صلى الله عليه وسلم صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ
بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً. متفق عليه
.
Dari
Ibnu Umar, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Salat berjama’ah itu
mengungguli salat dengan 27 derajat’.”
(Muttafaq Alaih)
عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ:قال
رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَإِنَّ صَلَاةَ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلِ
أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ وَحْدَهُ وَصَلَاتُهُ مَعَ الرَّجُلَيْنِ أَزْكَى مِنْ
صَلَاتِهِ مَعَ الرَّجُلِ وَمَا كَثُرَ فَهُوَ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ
تَعَالَى.رواه أحمدوأبوداود والنسائي وابن ماجه
Dari
Ubay bin Ka’ab, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, Salat seseorang dengan
seseorang lainnya lebih beruntung (lebih bersih) dari salat sendirian
(munfarid). Dan salatnya dengan dua orang lainnya lebih beruntung daripada
salatnya berasama seorang lainnya. Dan lebih banyak (jumlahnya) maka
lebih dicintai oleh Allah ta’ala.”
(HR. Ahmad, Abu Daud, An-Nasai dan Ibnu
Majah).
Oleh karena itu, orang yang masbuk dalam menyempurnakan
kekurangan shalatnya lebih baik melakukannya secara berjama’ah berdasarkan
keumuman hadits-hadits di atas. Ini dalil yang pertama.
Kedua, ada orang yang berpendapat bahwa orang yang masbuk
tidak boleh menyempurnakan shalatnya secara berjama’ah karena akan terjadi
perpindahan niat dan keadaan, yaitu yang tadinya ma’mum berubah menjadi imam.
Hal ini sebenarnya tidak asing, ulama terdahulu pun sudah membahasnya, yaitu
yang dinamakan istikhlaf (mengangkat imam baru). Yaitu pernah dialami oleh
Rasulullah saw saat beliau sedang sakit, beliau menyuruh Abu Bakar As-Shiddiq
ra menjadi imam, namun kemudian beliau bermakmum kepada Abu Bakar, dan Abu Bakar
enggan mengimami Rasul, maka Rasul pun berganti posisi menjadi imam.
Sebagaimana diterangkan oleh Aisyah ra,
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ لَمَّا مَرِضَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَضَهُ الَّذِي مَاتَ فِيهِ
وَقَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ لَمَّا ثَقُلَ جَاءَ بِلَالٌ يُؤْذِنُهُ بِالصَّلَاةِ
فَقَالَ مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ
إِنَّ أَبَا بَكْرٍ رَجُلٌ أَسِيفٌ تَعْنِي رَقِيقٌ وَمَتَى مَا يَقُومُ مَقَامَكَ
يَبْكِي فَلَا يَسْتَطِيعُ فَلَوْ أَمَرْتَ عُمَرَ
فَصَلَّى بِالنَّاسِ فَقَالَ مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ
فَإِنَّكُنَّ صَوَاحِبَاتُ يُوسُفَ قَالَتْ فَأَرْسَلْنَا إِلَى أَبِي بَكْرٍ
فَصَلَّى بِالنَّاسِ فَوَجَدَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مِنْ نَفْسِهِ خِفَّةً فَخَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ يُهَادَى بَيْنَ رَجُلَيْنِ
وَرِجْلَاهُ تَخُطَّانِ فِي الْأَرْضِ فَلَمَّا أَحَسَّ بِهِ أَبُو بَكْرٍ ذَهَبَ
لِيَتَأَخَّرَ فَأَوْمَى إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنْ مَكَانَكَ قَالَ فَجَاءَ حَتَّى أَجْلَسَاهُ إِلَى جَنْبِ أَبِي بَكْرٍ
فَكَانَ أَبُو بَكْرٍ يَأْتَمُّ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَالنَّاسُ يَأْتَمُّونَ بِأَبِي بَكْرٍ
Dari
Aisyah, ia berkata, “Ketika Rasulullah saw. sakit pada sakit yang membuat
beliau wafat—Abu Muawiyah mengatakan ketika sakitnya semakin parah—datang
Bilal mengumandangkan adzan shalat, lalu beliau bersabda, “Perintahkan Abu Bakar
untuk mengimami shalat orang-orang.” Kami berkata, “Wahai Rasulullah saw.
sesungguhnya Abu Bakar seorang yang mudah sedih dan menangis, maksudnya lembut
hatinya, seandainya dia menempati tempatmu, maka ia akan menangis dan tidak
mampu (untuk shalat). Perintahkanlah Umar untuk shalat menjadi imam bersama
orang-orang.” Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Perintahkan Abu Bakar menjadi imam
shalat dengan orang-orang, sesungguhnya kalian semua seperti perempuan pada
zaman Yusuf” Aisyah berkata, “Maka kami mengirim utusan kepada Abu Bakar, lalu
dia shalat dengan orang-orang.” Rasulullah saw. merasakan pada dirinya
keringanan (agak membaik kesehatannya), lalu beliau keluar shalat dengan
dituntun (dipandu) oleh dua orang, dan kedua kaki beliau terseret di tanah. Ketika
Abu Bakar merasa (kehadiran Rasulullah) maka ia berusaha untuk mundur, lalu
Rasulullah memberi isyarat kepadanya untuk tetap di tempatnya.” Perawi berkata,
“Kemudian Nabi saw. datang dan beliau didudukan di samping Abu Bakar, maka Abu
Bakar mengikuti Rasulullah dan orang-orang mengikuti Abu Bakar.” (HR. Ibnu Majah).
Ditambah dengan hadits adanya shadaqah shalat, yaitu
orang yang tadinya ma’mum lalu menjadi imam bagi orang yang ketinggalan shalat
berjama’ah sebagai shadaqah baginya.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ
أَنَّ رَجُلًا دَخَلَ الْمَسْجِدَ وَقَدْ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِأَصْحَابِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّيَ مَعَهُ فَقَامَ
رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ فَصَلَّى مَعَهُ – رواه أحمد وأبو داود والترمذي
–
Dari
Abu Said ia berkata, sesungguhnya seorang laki-laki masuk ke masjid sedangkan
Rasulullah saw. telah salat bersama para sahabat, kemudian Rasulullah saw.
bersabda, ‘Siapa yang mau bershadaqah kepada orang ini, maka salatlah
bersamanya?’ Kemudian seorang laki-laki dari satu kaum berdiri dan salat
bersamanya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
Maka dengan sendirinya alasan tersebut dapat tertolak.
Ketiga, ternyata praktek masbuk ini juga pernah dialami
langsung oleh Rasulullah saw bersama salah satu sahabatnya, yaitu Al-Mughiroh
bin Syu’bah. Dari kejadian dalam hadits ini kita dapat mencermati apakah beliau
melakukannya secara berjama’ah ataukah sendiri-sendiri. Berikut ini haditsnya,
عَنِ
الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ تَخَلَّفَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم
وَتَخَلَّفْتُ مَعَهُ فَلَمَّا قَضَى حَاجَتَهُ قَالَ أَمَعَكَ مَاءٌ فَأَتَيْتُهُ
بِمِطْهَرَةٍ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ وَوَجْهَهُ ثُمَّ ذَهَبَ يَحْسِرُ عَنْ
ذِرَاعَيْهِ فَضَاقَ كُمُّ الْجُبَّةِ فَأَخْرَجَ يَدَهُ مِنْ تَحْتِ الْجُبَّةِ
وَأَلْقَى الْجُبَّةَ عَلَى مَنْكِبَيْهِ وَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ وَمَسَحَ
بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى الْعِمَامَةِ وَعَلَى خُفَّيْهِ ثُمَّ رَكِبَ وَرَكِبْتُ فَانْتَهَيْنَا
إِلَى الْقَوْمِ وَقَدْ قَامُوا فِي الصَّلاَةِ يُصَلِّي بِهِمْ عَبْدُ
الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَقَدْ رَكَعَ بِهِمْ رَكْعَةً فَلَمَّا أَحَسَّ
بِالنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم ذَهَبَ يَتَأَخَّرُ فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ
فَصَلَّى بِهِمْ فَلَمَّا سَلَّمَ قَامَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم
وَقُمْتُ فَرَكَعْنَا الرَّكْعَةَ الَّتِي سَبَقَتْنَا –
رواه
مسلم
–
Dari Al-Mughirah bin Syu’bah, ia berkata,
“Rasulullah saw. ketinggalan rombongan demikian juga aku bersamanya. Ketika
beliau telah menyelasaikan hajatnya, beliau bersabda, “Apakah kamu membawa
air?” Maka aku mendatanginya dengan membawa air, lalu beliau mencuci kedua
telapak tangannya dan wajahnya, lalu mulai membuka baju dari kedua lengannya,
tetapi sempit jubahnya,
maka beliau mengeluarkan sebelah tangannya dari bawah jubah, dan menempatkan
jubahnya di atas kedua pundaknya, lalu beliau mencuci lengannya dan mengusap
imamah serta kedua khufnya. Kemudian beliau menaiki kendaraannya dan aku pun
berkendaraan bersamanya. Maka kami sampai kepada kaum (rombongan itu),
ternyata mereka telah melaksanakan salat dan Abdurrahman bin Auf yang mengimami
mereka, mereka telah salat satu rakaat. Tatkala Abdurrahman bin Auf merasa
bahwa Nabi datang, ia berusaha untuk mundur, tetapi Nabi berisyarat agar
Abdurrahman bin Auf tetap pada tempatnya mengimami mereka. Tatkala Abdurrahman
bin Auf (bersama jama’ah) melakukan salam (selesai dari salatnya), Nabi saw.
berdiri dan aku pun berdiri, lalu kami melaksanakan rakaat salat yang
ketinggalan itu.” (HR. Muslim, No. 274, Bab Mengusap ubun-ubun dan imamah).
Dalam
riwayat Al-Baihaqi ada sedikit perbedaan redaksi dan ada tambahan penjelasan,
عَنِ
الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ تَخَلَّفَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم
وَتَخَلَّفْتُ مَعَهُ فَلَمَّا قَضَى حَاجَتَهُ قَالَ أَمَعَكَ مَاءٌ فَأَتَيْتُهُ
بِمِطْهَرَةٍ فَغَسَلَ وَجْهَهُ
وَكَفَّيْهِ ثُمَّ ذَهَبَ يَحْسِرُ عَنْ ذِرَاعَيْهِ فَضَاقَ
كُمُّ الْجُبَّةِ فَأَخْرَجَ يَدَهُ مِنْ الْجُبَّةِ وَأَلْقَى الْجُبَّةَ
عَلَى مَنْكِبَيْهِ وَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ وَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى
الْعِمَامَةِ وَعَلَى خُفَّيْهِ ثُمَّ رَكِبَ وَرَكِبْتُ فَانْتَهَيْنَا إِلَى
الْقَوْمِ وَقَدْ قَامُوا فِي الصَّلاَةِ فَصَلَّى
بِهِمْ
عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَقَدْ رَكَعَ بِهِمْ رَكْعَةً فَلَمَّا أَحَسَّ
بِالنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم ذَهَبَ يَتَأَخَّرُ فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ
فَصَلَّى بِهِمْ فَلَمَّا سَلَّمَ قَامَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم وَقُمْتُ
مَعَهُ فَرَكَعْنَا الرَّكْعَةَ الَّتِي سَبَقَنَا –
رواه
البيهقي –
Dari Al-Mughirah bin Syu’bah, ia berkata,
“Rasulullah saw. ketinggalan rombongan demikian juga aku bersamanya. Ketika
beliau telah menyelasaikan hajatnya, beliau bersabda, “Apakah kamu membawa
air?” Maka aku mendatanginya dengan membawa air, lalu beliau mencuci wajahnya dan kedua telapak tangannya,
lalu mulai membuka baju dari kedua lengannya, tetapi sempit jubahnya, maka beliau
mengeluarkan sebelah tangannya dari bawah jubah, dan menempatkan jubahnya di
atas kedua pundaknya, lalu beliau mencuci lengannya dan mengusap imamah serta
kedua khufnya. Kemudian beliau menaiki kendaraannya dan aku pun berkendaraan bersamanya.
Maka kami sampai kepada kaum (rombongan itu), ternyata mereka telah
melaksanakan salat dan Abdurrahman bin Auf yang mengimami mereka, mereka telah
salat satu rakaat. Tatkala Abdurrahman bin Auf merasa bahwa Nabi datang, ia
berusaha untuk mundur, tetapi Nabi berisyarat agar Abdurrahman bin Auf tetap
pada tempatnya mengimami mereka. Tatkala Abdurrahman bin Auf (bersama jama’ah)
melakukan salam (selesai dari salatnya), Nabi saw. berdiri dan aku pun
berdiri bersamanya,
lalu kami melaksanakan rakaat salat yang ketinggalan itu. “ (HR. Baihaqi, As-Sunan
Ash-Shugra, no. 92, Bab Bolehnya mengusap di atas Khuf).
Dari
dua riwayat hadits di atas sebenarnya jelas menunjukkan bahwa Rasulullah saw
yang saat itu ketinggalan shalat berjama’ah yang telah diimami oleh Abdurrahman
bin ‘Auf dan telah berlalu satu rakaat, beliau bersama dengan Al-Mughirah bin
Syu’bah menyempurnakan kekurangannya secara berjama’ah. Hal itu dapat
ditunjukkan melalui beberapa kata berikut ini,
Pertama, penggunaan kata nahnu (kami) secara
makna hakiki bermakna orang yang pertama dan orang yang ketiga (yang
dibicarakan) melakukan sesuatu secara bersama-sama. Ini menunjukkan bahwa
Rasulullah saw dan Al-Mughirah melaksanakan shalat tersebut secara bersama-sama
atau berjama’ah,
فَرَكَعْنَا
الرَّكْعَةَ الَّتِي سَبَقَتْنَا
“lalu kami melaksanakan rakaat salat yang ketinggalan itu.”
Ini
tidak ada bedanya dengan kalimat sebelumnya,
فَانْتَهَيْنَا
إِلَى الْقَوْمِ
“Maka kami sampai kepada kaum (rombongan itu)”
Kalimat
tersebut tentu menunjukkan bahwa Rasulullah saw dan Al-Mughirah sampai kepada
rombongan secara bersama-sama, tidak sendiri-sendiri.
Jika
penggunaan kata nahnu dimaksudkan untuk melakukan sesuatu secara
sendiri-sendiri mesti ada qarinah (keterangan pendukung) yang
memalingkan dari makna aslinya. Misalnya dalam hadits berikut,
عَنْ
حَسَنِ بْنِ عُقْبَةَ أبِي كِبْرَانَ ، أَنَّهُ قَالَ : كُنَّا مَعَ الضَّحَّاكِ
فَقَالَ : إِنْ كَانَ مِنْكُمْ مَنْ يَتَقَدَّمُ فَلْيُؤَذِّنْ وَلْيُصَلِّ ، قَالَ
: فَأَبَوْا ، فَصَلَّيْنَا وَحْدَانًا .
Dari Hasan bin Uqbah Abu Kibran, bahwa ia
berkata, “Kami bersama adh-Dhahak, lalu ia berkata, ‘Jika di antara kalian ada
yang bersedia maju menjadi imam, hendaklah azan dan shalatlah.’ Ia berkata,
‘Maka mereka enggan. Lalu kami shalat sendiri-sendiri’.” (HR. Ibnu Abu Syaibah, Mushannaf Ibnu
Abu Syaibah, 1/358)
Kalimat
shallainaa (kami shalat) pada riwayat ini harus dipahami bahwa mereka
melaksanakan shalatnya tidak berjamaah karena terdapat qarinah
(keterangan pendukung) yang menunjukkan hal itu yaitu kata wahdanan
(sendiri-sendiri).
Kedua, adanya tambahan kata ma’ahu (bersamanya) dalam
riwayat Baihaqi pada kalimat,
فَلَمَّا
سَلَّمَ قَامَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم وَقُمْتُ مَعَهُ
“Tatkala
Abdurrahman bin Auf (bersama jama’ah) melakukan salam (selesai dari salatnya), Nabi
saw. berdiri dan aku pun berdiri bersamanya”
Kata
tambahan tersebut menjadi penjelas bagi kalimat dalam riwayat muslim yang tidak
menggunakannya.
قَامَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم وَقُمْتُ
“Nabi
saw. berdiri dan aku pun berdiri”
Maka
jelaslah, berdirinya Rasulullah saw dan Al-Mughirah adalah dilakukan secara
bersama-sama alias berjama’ah. Kejelasan itu nampak sebagaimana kalimat yang
sama digunakan dalam hadits-hadits lain berikut ini,
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَامَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَامَ النَّاسُ مَعَهُ فَكَبَّرَ
وَكَبَّرُوا مَعَهُ
…
Dari Ibnu Abas, ia berkata, “Nabi saw. berdiri
dan orang-orang pun berdiri bersamanya, lalu beliau bertakbir dan mereka
bertakbir bersamanya…” (HR. Al-Bukhari).
قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَلَاةٍ وَقُمْنَا مَعَهُ
“Rasulullah saw. berdiri pada satu salat dan kami
berdiri bersamanya…” (HR.
Al-Bukhari)
انْكَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَامَ وَقُمْنَا مَعَهُ
“Telah
terjadi gerhana pada zaman Rasul, maka Beliau berdiri dan kami pun berdiri
bersamanya.” (HR.Ibnu
Hiban).
Adakah hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah
saw dan para sahabat melaksanakan shalat secara sendiri-sendiri?
Oleh karena itu, jelaslah bahwa bagi orang yang masbuk
menyempurnakan kekuarangan shalatnya secara berjama’ah adalah suatu keafdhalan
dan merupakan sunnah yang ada contohnya dari Rasulullah saw.
Wallahu A’lam.
(Muhammad Atim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar