Kamis, 20 April 2017

Bermula dari rasa takut



Ketika seseorang takut dirinya akan celaka, maka dia akan mencari tahu cara agar dirinya selamat. Dia tidak akan merasa tentram sebelum memahami cara tersebut dengan jelas.
Begitulah landasan belajar dalam Islam. Bermula dari rasa takut kepada Allah, takut akan siksaan-Nya. Seorang mu’min yang telah beriman kepada Allah, rasa takutnya akan mendorong dirinya mencari tahu cara agar selamat. Tidak ada seorang manusia pun yang mengetahui cara tersebut. Hanya Allahlah yang mengetahuinya. Maka Allah menurunkan cara tersebut melalui rasul-Nya berupa wahyu. Wahyu itu kemudian diajarkan kepada umatnya, dan secara turun-temurun diajarkan, hingga menjadilah ilmu-ilmu Islam, yang keaslian wahyu tersebut telah dijamin penjagaannya oleh Allah SWT.
Bukankah pada awalnya Rasulullah saw memperingatkan umatnya dari siksa yang keras agar tertanam rasa takut dalam dirinya? Saat pertama kali beliau mengumumkan da’wahnya di atas bukit Shafa beliau bersabda, “Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan bagi kalian sebelum datangnya adzab yang keras!”. Bahkan beliau memperingatkan perkabilah dan perorang, “Wahai bani Ka’b bin Luay, selamatkan diri kalian dari neraka! Wahai bani Murrah bin Ka’b, selamatkanlah diri kalian dari neraka! Wahai bani Abdi Syams, selamatkanlah diri kalian dari neraka! Wahai bani Abdi Manaf, selamatkanlah diri kalian dari neraka! Wahai bani Hasyim, selamatkanlah diri kalian dari neraka! Wahai bani Abdul Muttalib, selamatkanlah diri kalian dari neraka! Wahai Fatimah, selamatkanlah dirimu dari neraka! Sesungguhnya aku tidak bisa berbuat apapun terhadap diri kalian di hadapan Allah, selain kalian memiliki tali rahim, maka aku akan membasahinya menurut kebasahannya.” (HR. Muslim, kitab Iman, bab tentang firman Allah dan berilah peringatan kepada kerabatmu yang dekat).
Rasa takut inilah yang mendorong para sahabat untuk bersemangat dan berlomba-lomba belajar kepada Rasulullah saw. Ketika turun ayat, “Wahai orang-orang beriman! Jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, padanya ada malaikat yang bengis lagi keras, mereka tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka, dan mereka mengerjakan apa yang diperintahkan kepada mereka.” (QS. At-Tahrim : 6), para sahabat paham bahwa cara menjaga diri dan keluarga dari siksa neraka adalah dengan belajar ilmu Islam serta mengamalkan ilmu tersebut. Maka Ali ra misalnya menafsirkan ayat tersebut, “Ajarkanlah mereka adab, ajarkanlah mereka ilmu.” (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 8, hal. 167). Karena memang, perintah yang pertama kali turun sebelum perintah-perintah syariat adalah perintah untuk belajar ilmu wahyu yang diturunkan oleh Allah, yaitu “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu maha pemurah. Yang telah mengajarkan melalui perantaraan pena. Yang telah mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq : 1-5).
Rasa takut yang melandasi aktifitas belajar itu, tidaklah berarti menjadi hilang ketika kita telah selesai belajar. Namun ia tetap dipelihara, bahkan sampai pada puncaknya ketika seseorang telah mencapai derajat ulama atau ahli ilmu. “Hanyalah yang sangat takut kepada  Allah dari hamba-hamba-Nya itu adalah para ulama.” (QS. Fathir : 28). “Tidaklah layak bagi orang-orang beriman untuk berangkat seluruhnya ke medan perang, mengapa tidak dari setiap golongan dari mereka ada sekelompok orang yang berangkat untuk memahami dengan mendalam (tafaquh) terhadap agama, agar mereka memberi peringatan kepada kaum mereka apabila mereka telah kembali kepada mereka, semoga mereka bersikap mawas diri.” (QS. At-Taubah : 122).   Karena rasa takut itu akan terus menjadi energi bagi orang berilmu yang mendorongnya untuk segera beramal dengan ilmu tersebut, untuk segera menempuh jalan yang telah dipahaminya dengan penuh perjuangan. Bahkan aktifitas belajar mengajar itu selalu bermuara pada rasa takut kepada Allah. Perhatikan pada ayat diatas, untuk murid dikatakan “semoga mereka bersikap mawas diri”, berarti pula selalu berhati-hati, selalu memiliki rasa takut. Dan untuk guru dikatan, “agar mereka memberi peringatan kepada kaum mereka apabila mereka telah kembali kepada mereka”, ini adalah tugas guru kepada murid, yaitu menanamkan dalam diri mereka rasa takut kepada Allah, memberi mereka peringatan terhadap siksa yang pedih. Lalu mengapa saat ini proses belajar mengajar dalam pendidikan kita, sangat susah untuk membawa nama Allah, mengaitkan ilmu yang kita ajarkan untuk mengingat Allah, terlebih dapat mengarahkan mereka agar takut kepada Allah?
Kita tidak boleh merasa puas dengan ilmu yang telah diraih, karena kita diajarkan untuk terus menambahnya, “Dan berdoalah, Ya Tuhanku tambahkanlah untukku ilmu.” (QS. Thaha : 114). Perintah untuk belajar itu bukanlah dengan menghasilkan pemahaman yang ala kadarnya, tetapi mesti dengan pemahaman yang mendalam sebagaimana termuat dalam kata tafaquh. Karena memang, ilmu yang mendalam itu akan berkaitan dengan setiap amal yang kita lakukan dengan teliti, karena sedikitpun tidak ada yang lengah dari pengetahuan dan penglihatan Allah SWT, dan Allah maha teliti dalam menghisab setiap amal kita. Oleh karena itu, kita mesti teliti dan mendalam dalam mempelajari ilmu, agar pengamalannya pun bisa dipertanggungjawabkan secara teliti. Belajar ilmu Islam ini, selain sebagai usaha yang sungguh-sungguh untuk bisa selamat dari neraka, juga penentu bagi derajat kita di surga. Semakin berkualitas ilmu yang kita pelajari, selanjutnya semakin berkualitas iman dan amal kita, dan itulah yang menentukan tingginya derajat kita di surga. Wallahu A’lam.        
Menggali akar pendidikan Islam, Muhammad Atim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar