Ketika seseorang
takut dirinya akan celaka, maka dia akan mencari tahu cara agar dirinya
selamat. Dia tidak akan merasa tentram sebelum memahami cara tersebut dengan
jelas.
Begitulah landasan
belajar dalam Islam. Bermula dari rasa takut kepada Allah, takut akan
siksaan-Nya. Seorang mu’min yang telah beriman kepada Allah, rasa takutnya akan
mendorong dirinya mencari tahu cara agar selamat. Tidak ada seorang manusia pun
yang mengetahui cara tersebut. Hanya Allahlah yang mengetahuinya. Maka Allah
menurunkan cara tersebut melalui rasul-Nya berupa wahyu. Wahyu itu kemudian
diajarkan kepada umatnya, dan secara turun-temurun diajarkan, hingga menjadilah
ilmu-ilmu Islam, yang keaslian wahyu tersebut telah dijamin penjagaannya oleh
Allah SWT.
Bukankah pada
awalnya Rasulullah saw memperingatkan umatnya dari siksa yang keras agar tertanam
rasa takut dalam dirinya? Saat pertama kali beliau mengumumkan da’wahnya di
atas bukit Shafa beliau bersabda, “Sesungguhnya aku seorang pemberi
peringatan bagi kalian sebelum datangnya adzab yang keras!”. Bahkan beliau
memperingatkan perkabilah dan perorang, “Wahai bani Ka’b bin Luay,
selamatkan diri kalian dari neraka! Wahai bani Murrah bin Ka’b, selamatkanlah
diri kalian dari neraka! Wahai bani Abdi Syams, selamatkanlah diri kalian dari
neraka! Wahai bani Abdi Manaf, selamatkanlah diri kalian dari neraka! Wahai bani
Hasyim, selamatkanlah diri kalian dari neraka! Wahai bani Abdul Muttalib,
selamatkanlah diri kalian dari neraka! Wahai Fatimah, selamatkanlah dirimu dari
neraka! Sesungguhnya aku tidak bisa berbuat apapun terhadap diri kalian di
hadapan Allah, selain kalian memiliki tali rahim, maka aku akan membasahinya
menurut kebasahannya.” (HR. Muslim, kitab Iman, bab tentang firman Allah dan
berilah peringatan kepada kerabatmu yang dekat).
Rasa takut
inilah yang mendorong para sahabat untuk bersemangat dan berlomba-lomba belajar
kepada Rasulullah saw. Ketika turun ayat, “Wahai orang-orang beriman! Jagalah
diri kalian dan keluarga kalian dari neraka yang bahan bakarnya adalah manusia
dan batu, padanya ada malaikat yang bengis lagi keras, mereka tidak mendurhakai
Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka, dan mereka mengerjakan
apa yang diperintahkan kepada mereka.” (QS. At-Tahrim : 6), para sahabat
paham bahwa cara menjaga diri dan keluarga dari siksa neraka adalah dengan
belajar ilmu Islam serta mengamalkan ilmu tersebut. Maka Ali ra misalnya
menafsirkan ayat tersebut, “Ajarkanlah mereka adab, ajarkanlah mereka ilmu.”
(Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 8, hal. 167). Karena memang, perintah yang pertama
kali turun sebelum perintah-perintah syariat adalah perintah untuk belajar ilmu
wahyu yang diturunkan oleh Allah, yaitu “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang
telah menciptakan. Yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan
Tuhanmu maha pemurah. Yang telah mengajarkan melalui perantaraan pena. Yang telah
mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq : 1-5).
Rasa takut yang
melandasi aktifitas belajar itu, tidaklah berarti menjadi hilang ketika kita
telah selesai belajar. Namun ia tetap dipelihara, bahkan sampai pada puncaknya
ketika seseorang telah mencapai derajat ulama atau ahli ilmu. “Hanyalah yang
sangat takut kepada Allah dari
hamba-hamba-Nya itu adalah para ulama.” (QS. Fathir : 28). “Tidaklah
layak bagi orang-orang beriman untuk berangkat seluruhnya ke medan perang, mengapa
tidak dari setiap golongan dari mereka ada sekelompok orang yang berangkat untuk
memahami dengan mendalam (tafaquh) terhadap agama, agar mereka memberi
peringatan kepada kaum mereka apabila mereka telah kembali kepada mereka,
semoga mereka bersikap mawas diri.” (QS. At-Taubah : 122). Karena
rasa takut itu akan terus menjadi energi bagi orang berilmu yang mendorongnya
untuk segera beramal dengan ilmu tersebut, untuk segera menempuh jalan yang
telah dipahaminya dengan penuh perjuangan. Bahkan aktifitas belajar mengajar
itu selalu bermuara pada rasa takut kepada Allah. Perhatikan pada ayat diatas,
untuk murid dikatakan “semoga mereka bersikap mawas diri”, berarti pula
selalu berhati-hati, selalu memiliki rasa takut. Dan untuk guru dikatan, “agar
mereka memberi peringatan kepada kaum mereka apabila mereka telah kembali
kepada mereka”, ini adalah tugas guru kepada murid, yaitu menanamkan dalam
diri mereka rasa takut kepada Allah, memberi mereka peringatan terhadap siksa
yang pedih. Lalu mengapa saat ini proses belajar mengajar dalam pendidikan
kita, sangat susah untuk membawa nama Allah, mengaitkan ilmu yang kita ajarkan
untuk mengingat Allah, terlebih dapat mengarahkan mereka agar takut kepada
Allah?
Kita tidak
boleh merasa puas dengan ilmu yang telah diraih, karena kita diajarkan untuk
terus menambahnya, “Dan berdoalah, Ya Tuhanku tambahkanlah untukku ilmu.” (QS.
Thaha : 114). Perintah untuk belajar itu bukanlah dengan menghasilkan pemahaman
yang ala kadarnya, tetapi mesti dengan pemahaman yang mendalam sebagaimana
termuat dalam kata tafaquh. Karena memang, ilmu yang mendalam itu akan
berkaitan dengan setiap amal yang kita lakukan dengan teliti, karena sedikitpun
tidak ada yang lengah dari pengetahuan dan penglihatan Allah SWT, dan Allah
maha teliti dalam menghisab setiap amal kita. Oleh karena itu, kita mesti
teliti dan mendalam dalam mempelajari ilmu, agar pengamalannya pun bisa
dipertanggungjawabkan secara teliti. Belajar ilmu Islam ini, selain sebagai
usaha yang sungguh-sungguh untuk bisa selamat dari neraka, juga penentu bagi
derajat kita di surga. Semakin berkualitas ilmu yang kita pelajari, selanjutnya
semakin berkualitas iman dan amal kita, dan itulah yang menentukan tingginya
derajat kita di surga. Wallahu A’lam.
Menggali akar
pendidikan Islam, Muhammad Atim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar