Selasa, 28 Maret 2017

Sederhananya akidah dalam Islam



@muh_atim

Ketika Jibril 'alahis salam berwujud seorang manusia duduk berdempetan langsung dengan Nabi shollallohu 'alaihi wasallam menanyakan beberapa hal dalam rangka menguji, setelahnya beliau berkata kepada Umar, "sesungguhnya ia adalah Jibril yang datang kepada kalian mengajarkan agama kalian".

Maka agama ini tersimpul dalam tiga rukunnya, Islam, Iman dan Ihsan. Islam khitobnya kepada jasad yang berkaitan dengan amal-amal lahiriyah termasuk kategori ilmu syariat dan fiqih. Sedangkan iman khitobnya kepada akal yang kemudian menjadi keyakinan-keyakinan termasuk kategori ilmu akidah. Dan Ihsan khitobnya kepada ruh termasuk kategori ilmu akhlaq atau dalam istilah lain ilmu tasawuf.

Akidah ternyata dasarnya simpel, hanya dalam enam rukun iman: iman kepada Alloh, iman kepada para malaikat-Nya, iman kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada rasul-rasul-Nya, iman kepada hari akhir, dan iman kepada qodho dan qodar (takdir baik dan buruk).

Siapapun yang mengimani 6 rukun iman tersebut secara global, maka ia telah menjadi orang beriman. Adapun rincian-rincian masalahnya tidak setiap orang beriman harus mengetahuinya karena sudah masuk wilayah ijtihad dan dari wilayah ijtihad itu lahirlah madzhab. 6 rukun iman ini tidak boleh diklaim sebagai madzhab tertentu, itu bukan madzhab tetapi itu adalah agama yang datang dari Alloh. Madzhab hanya dalam masalah-masalah ijtihadiyah yang menimbulkan perbedaan pemahaman. Dalam permasalahan ijtihadiyah dalam ilmu akidah inilah setiap muslim tidak boleh mengklaim hanya madzhabnya yang benar sedangkan yang lainnya menyimpang. Dan ketidaktahuan atau tidak meyakininya karena ijtihadnya terhadap diantara permasalahan rinci akidah tidak serta merta membuat orang tersebut tersesat dari Islam, seperti ijtihadnya Ibnu Khaldun yang tidak meyakini adanya imam Mahdi karena menurut beliau tidak ada hadits yang shahih berkenaan dengannya. Bahkan Aisyah ra sendiri awalnya tidak meyakini adanya adzab kubur sampai kemudian Rasulullah saw memberitahunya.

Adapun orang-orang atau kelompok yang dinyatakan sesat dan keluar dari Islam karena memang menyelisihi dasar aqidah Islam yaitu enam rukun iman tersebut. Syiah disebut sesat karena rukun imannya berbeda, Al-Qur'an menurutnya telah terjadi perubahan, dst, Mu'tazilah menafikan sifat-sifat Alloh yang memang telah ditetapkan oleh Alloh, dst.

Adapun madzhab Al-Atsari (sekarang dikenal dengan Salafi), Al-Asy'ari dan Al-Maturidi, mereka tidak menyelisihi dasar-dasar aqidah, mereka semua mengimani dan membenarkan semua yang datang dari Alloh dan rasul-Nya, hanya saja mereka berbeda dalam memahami sebagian kecil tentang sifat-sifat Alloh. Semua sepakat tidak boleh ada tahrif (merubah), tamtsil (menyerupakan dengan makhluk), ta'thil (tidak menganggap/menafikan) dan takyif (menjelaskan bagaimana), namun mereka berbeda pendapat tentang boleh tidaknya "ta'wil". Al-Atsari tidak membolehkan adanya ta'wil dan hanya memilih manhaj tafwidh (menyerahkan urusan pada Alloh), walaupun sebenarnya tanpa disadari mereka menempuh ta'wil juga. Sedangkan Al-Asy'ari dan Al-Maturidi membolehkan ta'wil dan memilih manhaj ta'wil dan tentu juga disertai tafwidh. Semua madzhab tersebut memiliki dasar dari salaf, maka dalam hal ini sebenarnya tidak boleh mengklaim hanya kelompoknya saja yang mengikuti salaf, maka istilah salafi ini sebenarnya tak kurang menuai kritik karena terkesan memonopoli. Misalnya ta'wil itu ada dasarnya dari sahabat, para sahabat menta'wil sifat maiyyah 'aamah (kebersamaan Allah secara umum) yaitu dalam ayat "wahuwa ma'ahum ainama kaanuu", dita'wil dengan ilmu dan ihathoh (meliputi), jadi maksud bersama disitu mengetahui dan meliputi.

Contoh Atsari menempuh ta'wil adalah ketika mengkategorikan wajah, tangan dst adalah bagian dari sifat Alloh. Dimana ada tiga kategori, yaitu sesuatu merupakan sifat Allah seperti Yang Maha mengetahui, mendengar, melihat, dst, yang termasuk perbuatan Alloh seperti merasa senang, menciptakan, datang, dst, dan ada pula yang tidak diketahui apakah ia termasuk sifat atau perbuatan seperti wajah, tangan, betis, dst. Madzhab Atsari menyebutnya sebagai sifat, apakah Rasul saw menyebut sebagai sifat? Tidak, tentu ini bagian dari ta'wil. Karena sebenarnya ketika suatu lafadz tidak mungkin dipahami secara hakikatnya maka saat itu lafadz harus dita'wil. Dan menurut argumen Asy'ari kalau ayat-ayat ahkam boleh dita'wil kenapa ayat-ayat aqidah tidak boleh? Padahal semuanya dari Alloh (kullun min indillah). Ta'wil ini menjadi perlu menurut Asy'ari untuk mewaspadai terjerumus pada takyif terlebih tamtsil bagi orang awam, ketika disebutkan Alloh memiliki tangan, dan memang terdapat dalam banyak ayat dan hadits yang shahih, dikhawatirkan orang awam membayangkan bentuknya bagaimana bahkan menyerupakan dengan makhluk, untuk itulah mereka menempuh ta'wil bahwa yang dimaksud tangan di situ maksudnya kekuasaan.

Kaum muslimin mestinya lapang hati terhadap perbedaan tersebut, karena semuanya dalam posisi ijtihad, jika benar dapat dua pahala dan jika salah dapat satu pahala. Tidak perlu fanatik dan menyesatkan orang berbeda pendapat. Kalau anda memilih di antara pendapat tersebut silahkan saja kemukakan hujjah-hujjah yang menguatkannya, dan dengan begitu bukan berarti mengecilkan pendapat yang berbeda. Inilah sikap ilmiah. Dan jangan malah menyerang kepada pribadi secara subjektif, itu bukan akhlaq ulama. Maka dalam hal ini, mari kita mengakui, selain imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qoyyim, Adz-Dzahabi, Ibnu Kasir, dan ulama-ulama lain dalam madzhab Atsari sebagai ulama, begitu pula kita anggap sebagai ulama dari kalangan Asy'ari seperti imam Abu Hasan Al-Asy'ari, Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Baqillani, Ar-Razi, Al-Juwaini, Al-Qurthubi, Ibnu Hajar Al-'Asqolani, As-Suyuthi, dst, begitu pula dari madzhab Al-Maturidi, Abu Manshur Al-Maturidi, An-Nasafi, At-Tiftazani, Al-Jurjani, As-Samarqondi, dst. Dan di zaman ini pun selain mengakui Ibnu Utsaimin, Al-Albani, Bin Baz, dll, kita mesti mengakui sebagai ulama Yusuf Al-Qardhawi, Abdullah bin Bayyih, Ad-Dadaw Asy-Syanqithi, Al-Qurah Dagi, begitu pula Al-Buthi, dll. Rahimahumulloh wa hafizhahumulloh jami'an.

1 komentar: