Kajian dari kitab At-Tahrir wat Tanwir
Tadabur QS. Al-Fatihah
Semua petunjuk menuju
kebahagiaan terangkum dalam tujuh ayat yang pendek ini. Al-Fatihah maknanya
adalah pembuka atau pembukaan. Selayaknya sebagai pembukaan, di dalamnya
terangkum seluruh isi Al-Qur’an, untuk itulah dinamakan dengan Ummul Qur’an
(induk/intisari Al-Qur’an). Yang merangkum seluruh tema Al-Qur’an berupa pujian
kepada Allah, perintah dan larangan serta janji dan ancaman, atau dalam istilah
lain berupa aqidah, hukum dan kisah-kisah. Ia juga mencakup dua ruang lingkup
pembahasan yaitu hikmah-hikmah teoritis dan hukum-hukum praktis.
“Dengan nama Allah Yang Maha
Pengasih, Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Yang Maha
Pengasih, Maha Penyayang. Yang Merajai hari pembalasan.” Ini mencakup
pujian-pujian kepada Allah ataupun merangkum tema aqidah, yang bersifat hikmah
teoritis. “Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon
pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus”. Ini merangkum seluruh ibadah
dan ketaatan, baik bersifat langsung (mahdoh) maupun melalui interaksi dengan
sesama makhluk. Ia juga merangkum seluruh perintah dan larangan, dan
hukum-hukum praktis. “Yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri ni’mat kepada
mereka, bukan jalan mereka yang dimurkai, bukan pula jalan orang-orang yang
sesat.” Ini mencakup janji dan ancaman. Janji kepada orang yang taat kepada-Nya
dengan diberi keni’matan, dan ancaman bagi yang durhaka berupa siksaan. Di dalamnya
juga tersirat kisah, baik itu berkenaan dengan orang-orang shaleh maupun
orang-orang yang durhaka. Kisah-kisah yang memuat pujian dan ancaman ini
menggabungkan kedua hal; antara hikmah-hikmah teoritis yang bersifat kaidah keilmuan
dan hukum-hukum praktis yang diamalkan.
Oleh karena Al-Fatihah ini
merangkum seluruh isi Al-Qur’an dan menjadi intinya, maka ia mesti dibaca
berulang-ulang agar selalu menjadi pengingat bagi kita. Untuk itulah ia
dinamakan dengan “as-sab’ul matsani” (tujuh ayat yang diulang-ulang). Minimalnya
17 kali dalam rakaat shalat wajib lima waktu, belum ditambah dengan shalat
sunnahnya.
Memulai segala sesuatu
dengan nama Allah adalah pembuka bagi kucuran rahmat dan keberkahan dari-Nya. Maka,
dari keseluruhan asmaul husna, nama-nama dan sifat-sifat terpuji bagi-Nya, Ia
memperkenalkan Dirinya dengan nama dan sifat “Ar-Rahman, Ar-Rahim”, yang
kedua-duanya berakar kata dari rahmat, kasih sayang yang tiada bertepi. Cuma bedanya,
sifat Ar-Rahman adalah kasih sayang yang besar dan umum yang diberikan kepada
seluruh makhluknya di dunia, sampai kepada orang-orang kafir sekalipun. Inilah yang
menjadi jawaban mengapa orang-orang kafir yang durhaka tetap mendapat keni’matan
di dunia ini, jawabannya karena memang Allah adalah Ar-Rahman. Sedangkan Ar-Rahim
adalah kasih sayang yang terus menerus dan ia bersifat khusus diberikan kepada
hamba-hamba-Nya yang beriman, di dunia dan akhirat. Maka beruntunglah bagi
orang yang mendapat rahmat khusus dari Allah Yang Maha Ar-Rahim, karena dari
keseluruhan rahmat-Nya itu, satu persen saja diturunkan ke dunia, sedangkan
sembilan puluh sembilannya diberikan di akhirat.
Tiada kebahagiaan tanpa
menghadapkan hati kita dengan lurus untuk memuji Allah. Karena sesungguhnya sumber
kebahagiaan bukan pada diri kita, bukan pada materi yang kita genggam, akan
tetapi semata-mata sumber kebahagiaan itu dari Allah yang memberikannya. Allah menyimpannya
pada hati yang puas, sedangkan yang tampak dari fisik dan materi hanya sebagai
sarananya saja, bukan sesuatu yang memastikan datangnya kebahagiaan. Karena berapa
banyak orang yang terpenuhi secara fisik dan materi, tetapi kebahagiaan justru
tak kunjung datang. Maka, memuji Allah adalah syarat kebahagiaan yang hakiki.
Al-Hamdu adalah pujian
terhadap sesuatu yang bagus dalam bentuk pengagungan disertai dengan kecintaan
(Shofwatut Tafasir, M. Ali Ash-Shobuni). Oleh karenanya, ia hanya layak
ditujukkan kepada Allah, karena Dia adalah Rabb seluruh alam, Rabb seluruh
makhluknya. Yang berarti bahwa Allah-lah Pencipta, Pengatur, Pemelihara dan
Penguasa. Sebab lainnya karena Dia adalah Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Dan secara
khusus karena Dia adalah Penguasa di hari pembalasan. Ini mengingatkan kita
akan kehidupan yang sesungguhnya. Suatu hari yang teramat panjang, sebagai
permulaan bagi kahidupan akhirat yang abadi. Di sanalah akan terjadi pembalasan
bagi seluruh perbuatan manusia selama di dunia dengan seadil-adil dan
seterang-terangnya. Jika mengingat kesana, apalah artinya kebahagiaan yang kita
kumpulkan di dunia ini?
Pujian kepada Allah bentuk
rilnya adalah dengan beribadah kepada-Nya. Maka tak ada cara lain jika kita
ingin mendapatkan kebahagiaan hakiki, selain mengikrarkan diri untuk
semata-mata beribadah kepada-Nya, dan hanya memohon pertolongan kepada-Nya. Karena
keseluruhan hidup kita dari Allah, maka pantas jika keseluruhan hidup kita
semata-mata untuk ibadah kepada Allah tanpa memilah-milah dan
membeda-bedakannya. Pernyataan dalam ayat ini mendahulukan kewajiban daripada
hak, yaitu kewajiban kita beribadah kepada Allah, baru kemudian hak kita
memohon pertolongan kepada-Nya.
Beribadah itu tentu tidak
sekehendak kita tetapi ada aturan dan tatacaranya yang telah ditetapkan oleh
Allah melalui wahyu yang Ia turunkan. Untuk itulah Allah mengajarkan kita doa, “Tunjukilah
kami jalan yang lurus”. Ini adalah memohon hidayah dari Allah, baik itu hidayah
irsyad/dilalah, berupa ilmu yang bisa didapatkan melalui perantaraan
pembelajaran, begitu juga hidayah taufiq, berupa kemampuan untuk mengamalkan, namun
ia hanya datang dari Allah semata. Oleh karena itu, hidayah adalah ilmu dan
amal dan beruntunglah orang yang dapat menggabungkan keduanya.
Untuk memahami kebenaran,
tidak cukup kita memahami konsepnya saja, tetapi kita diajarkan untuk melihat
dan mempelajari orang-orang yang berada di atas kebenaran itu dan orang-orang
yang melenceng darinya. Maka doanya kita lanjutkan dengan, “Yaitu jalan
orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka. Bukan jalan mereka
yang dimurkai, bukan pula orang-orang yang sesat.” Ini mengisyaratkan
perintah untuk belajar sejarah, agar kita mengambil ibrah. Agar kebenaran itu
terlihat jelas dalam prakteknya. Allah mendahulukan jalan yang lurus, kemudian
orang-orangnya, ini menjadi satu kaidah “i’rifil haq ta’rifu ahlahu” (kenalilah
kebenaran, maka engkau akan mengenali orang-orangnya). Kebenaran itu dapat
dipahami dengan mempelajari ilmu yang tertuang dalam wahyu Allah dan juga
ilmu-ilmu yang dipahami darinya. Dengan garis itulah kita dapat mengenali mana
orang yang berada di atasnya, dan mana orang yang melenceng. Kebenaran bukan
ditentukan oleh orang-orang tertentu dan kelompok-kelompok tertentu, tetapi
oleh garis kebenaran yang telah jelas yang dapat dijalankan oleh siapapun dan
dari kelompok manapun.
Orang-orang yang diberi ni’mat
itu ditafsirkan dalam QS. An-Nisa ayat 69 yaitu para Nabi, shiddiqin, syuhada dan
shalihin. Sedangkan mereka yang dimurkai oleh Nabi dicontohkan seperti Yahudi,
dan orang-orang yang sesat seperti Nashrani. Rincian perbedaan mereka adalah,
Yahudi itu tahu ilmunya, bahkan mengenal Rasulullah saw seperti mengenal
anak-anak mereka sendiri, tetapi enggan untuk mengamalkannya. Sedangkan Nashrani,
mereka rajin beramal tetapi tanpa ilmu. Oleh karena itu, berbahagialah orang
yang dapat menggabungkan antara ilmu dan amal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar