Oleh : Muhammad Atim
Ilmu fiqih itu adalah satu disiplin ilmu tersendiri dalam ilmu syar'i, sebagaimana ilmu-ilmu syar'i lainnya yang dihasilkan secara apik dari Al-Qur'an dan Sunnah. Ia berfokus pada kajian hukum-hukum syar'i yang bersifat praktis. Untuk menghasilkannya, tidak bisa dengan pengamatan awam terhadap teks-teks dalil, tapi diperlukan perangkat ijtihad yang rumit. Dari mulai ilmu-ilmu bahasa Arab yang mendalam untuk memahami petunjuk lafal, bahkan tidak cukup sebatas itu, diperlukan pula memahami maksud dan kaidah umum syariat yang kemudian terkodifikasi dalam ilmu ushul fiqih. Ditambah dengan berbagai ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur'an termasuk tafsir, juga yang berkaitan dengan hadits. Bukan sebatas memahami yang tersurat (manthuq) dalam teks, tapi juga -dengan acuan teks- mampu menjawab berbagai kasus, menyingkap dan merinci hukum-hukum Allah yang tersembunyi dalam berbagai hal.
Karena melakukan proses untuk menghasilkan fiqih itu tidak mudah, tidak semua orang mampu dan hanya para ulama yang memiliki keahlian ijtihad dan istinbat saja yang mampu (lihat QS. An-Nisa ; 83), maka orang yang tidak memiliki kemampuan tersebut diperintahkan untuk mengikuti ijtihad para ulama, mempelajari ilmu-ilmu mereka. “Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl : 43). “Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku” (QS. Luqman : 15).
Ijtihad para ulama itu telah terkodifikasi dalam kitab-kitab dalam bidang ilmu fiqih. Di antara mereka ada yang manhaj ijtihadnya tidak lagi diikuti, ada pula yang banyak diikuti sehingga menjadi madzhab besar. Madzhab besar tersebut telah dikaji, diteliti dan dikembangkan oleh para ulama sepanjang zaman hingga saat ini dan mengerucut kepada empat madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.
Dalam menyikapi madzhab fiqih tersebut, hingga saat ini secara umum terbagi kepada tiga kelompok. Yaitu ada yang fanatik terhadap madzhab, mewajibkan untuk mengikuti satu madzhab dan tidak boleh keluar sama sekali dari satu madzhab tersebut. Ada yang antipati terhadap madzhab, menganggapnya sebagai bid’ah, harus kembali kepada dalil Al-Qur’an dan Sunnah, menganggap bahwa madzhab-madzhab itu tidak berdasar kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Dan ada pula yang menghargai, mempelajari dan mengikuti alur madzhab fiqih, tetapi tidak fanatik. Jika setelah melalui pengkajian ada permasalahan yang kesimpulan fiqihnya lebih kuat (rojih) atau lebih maslahat (aslah) untuk diamalkan dari madzhab yang berbeda, maka ia mengikuti yang rojih dan aslah tersebut.
Kelompok yang layak diikuti dan dijadikan sebagai manhaj belajar fiqih menurut penulis adalah kelompok ketiga dengan kritik terhadap kelompok lain sebagai berikut :
Sikap fanatik madzhab itu adalah sikap yang berlebihan (ghuluw), yaitu memposisikan madzhab fiqih sebagai agama yang qath’i, padahal ia dibangun dengan ijtihad yang tidak qath’i. Tidak ada ulama madzhab yang memaksakan kepada orang untuk selalu mengikuti pendapatnya dalam berbagai permasalahan. Sedangkan bagi yang antipati terhadap madzhab, harus langsung mempelajari dari dalil Al-Qur’an dan Sunnah, ini sesungguhnya memulai dari nol, membuat kaidah-kaidah dan membangun manhaj sendiri, dan hal itu mustahil. Pada praktiknya mereka juga menggunakan kaidah dan manhaj para ulama itu. Dan tidak sedikit yang terjerumus pada kekeliruan karena kesalahan dalam memahami kaidah dan manhaj.
Manhaj belajar fiqih yang dapat kita terapkan adalah dengan mengikuti alur fiqih madzhab agar bangunan ilmu fiqih itu dapat dipahami secara utuh. Secara bertahap dimulai dengan mempelajari kesimpulan-kesimpulan fiqih yang sistematis, lebih bagus dengan memahami dalil-dalil sederhananya. Di tahap ini tidak mengapa seorang pembelajar diberikan rekomendasi pilihan fiqih yang rojih –berdasarkan pengkajian para ulama di madrasah yang mengajarkan- meski dari madzhab yang berbeda dalam tataran pengamalan. Karena dalam tataran pengamalan tidak bisa ditunda, seseorang yang telah baligh harus segera mengamalkan pilihan fiqih yang meyakinkan. Setelah itu memahami kesimpulan-kesimpulan fiqih dengan dalil-dalilnya secara terperinci, menambah permasalahan fiqih yang lebih luas dan memahami penerapan kaidah-kaidahnya. Dengan mempelajari fiqih madzhab secara berjenjang seperti ini akan membuat bangunan fiqih tergambar secara utuh. Baik mempelajari satu madzhab, atau lebih bagus mempelajari keempat madzhab secara berjenjang seperti itu. Karena pada masing-masing madzhab telah ada kurikulum dan kitab-kitab yang sistematis yang telah ditulis oleh para ulama. Setelah mempelajari fiqih madzhab, selanjutnya mempelajari fiqih muqarin (perbandingan madzhab). Tidak kurang kitab-kitab yang telah ditulis para ulama dalam bidang ini. Melalui fiqih muqarin ini, seseorang dapat menentukan pilihan-pilihan fiqih secara lebih meyakinkan, bahkan lebih jauh ia dapat merumuskan kaidah mana yang lebih tepat untuk diterapkan dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang baru.
Manhaj belajar fiqih seperti ini saya amati diantaranya diterapkan oleh para ulama di Mauritania (Syinqith). Misalnya seperti yang dijelaskan oleh Syekh Muhammad Hasan Ad-Dadaw berikut ini https://youtu.be/9bm_m3W0Rdg dan pada kajian-kajian beliau yang lainnya, serta sebagai kurikulum yang diterapkan pada madrasah keilmuan yang beliau pimpin, yaitu Markaz Takwinil Ulama (www.cforim.org).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar